RABIES


Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang disebabkan oleh virus rabies yang termasuk dalam genus Lyssa virus. Etiologi. 
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssa virus dari famili Rhabdoviridae. Dari genus Lyssa virus ada 11 jenis virus yang secara antigen mirip dan bisa menyebabkan rabies.



Ciri virus ini adalah:
- Berbentuk peluru
- Ukuran 180x75 nm
- single stranded RNA




Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperatur 56 derajat celcius waktu paruh kurang dari satu menit, dan pada suasana lembab 37 derajat celcius bisa bertahan hingga beberapa jam. Virus ini juga mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi iodium.



Virus rabies diklasifikasikan ke dalam 6 genotipe antara lain rabies genotipe 1, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European Bat Lyssa virus 5 dan 6.



Distribusi dan Insidens

Rabies tersebar di seluruh dunia. Hanya beberapa negara yang dilaporkan bebas rabies seperti Australia, sebagian besar skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Urugay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang dan Taiwan.



Jumlah kematian di dunia karena rabies pada manusia diperkirakan lebih dari 50.000 orang tiap tahunnya dan terbanyak pada negara-negara Asia-Afrika yang merupakan daerah endemis rabies.



Dari tahun 1997 sampai 2003 dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan binatang tersangka rabies di seluruh Indonesia (12.400 kasus/tahun) dan yang terbukti rabies adalah 538 orang (76 kasus/tahun).


Transmisi
Infeksi terjadi melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (liur binatang) dengan luka atau membran mukosa host (manusia/pejamu). Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi.


Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi (udara) di mana dilaporkan terjadi infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa adanya gigitan.



Patogenesis
Virus rabies yang sudah masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan fungsi.



Virus rabies mengikatkan diri pada reseptor asetilkolin post-sinaps pada neuromuskular junction di susunan saraf (pusat?/perifer). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurim sel-sel Schwan dan melalui aliran aksonplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat melalui cairan otak (LCS).



Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk saraf otonom, otot rangka, otot jantung, kelenjar adrenal, ginjal, mata, pankreas, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada urin dan air susu. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain (otak tengah) dan medulla spinalis pada rabies tipe furious (buas) dan medulla spinalis pada tipe paralitik.



Dijumpai negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear dan fragmen organella selular seperti ribosome.


Gejala Klinis

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi hingga pasien lupa kapan terakhir kali digigit.



Masa inkubasi bisa juga bervariasi antara 7 hari - 7 tahun tergantung pada besar dan dalamnya luka gigitan, lokalisasi gigitan dan derajat patogenitas virus.



Pada manusia ada 4 stadium rabies yang sulit dipisahkan satu sama lain yaitu:
1. Stadium Prodromal
Berlangsung 1-4 hari. Gejala tidak spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi, atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia, mula, muntah, diare dan nafsu makan menurun. Kadang juga ditemukan mioedema.



2. Stadium Neurologi Akut (Ensefalitis dan Disfungsi Batang Otak)
Dapat berupa gejala furious atau paralitik. Pada gejala furious penderita menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi atau bertingkah laku aneh. Keadaan hiperaktif dapat disebabkan oleh rangsangan dari luar seperti suara, cahaya, tiupan udara dan lain-lain. Bila pasien diberi air dan mencoba meminumnya akan terjadi spasme hebat otot-otot faring, akibatnya penderita menjadi takut terhadap air (hidrofobia) yang khas pada rabies.



Gejala lain dalam fase neurologi akut adalah demam, fasikulasi otot, hiperventilasi dan konvulsi. Gejala ini dapat terjadi hingga pasien mati. Kematian paling sering terjadi pada fase ini karena gagal napas akibat kontraksi hebat otot-otot pernapasan atau keterlibatan pusat pernapasan dan miokarditis, aritmia dan henti jantung akibat stimulasi saraf vagus.



Bila stadium ini terlewati, penderita masuk stadium paralitik, 20% pasien mengalami hal ini, dengan gejala demam, sakit kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit, mungkin difus atau simetri atau dapat menyebar ascendens dan kaku kuduk dapat dijumpai. Bisa terjadi kelumpuhan otot pernapasan sehingga pasien meninggal.



Gejala pada stadium ini berlangsung selama 2-7 hari.



3. Stadium Koma
Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologik, penderita dapat mengalami koma. Koma dapat terjadi selama 10 hari setelah gejala rabies nampak dan dapat berlangsung selama berhari-hari ataupun bertahun-tahun tergantung pada keintensifan penanganan.



Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada penyakit rabies tidak spesifik. Nyaris sulit membedakan apusan darah tepi penderita rabies dengan penderita penyakit infeksi lainnya.



Isolasi virus bisa jadi salah satu solusi pemeriksaan laboratorium yang sangat baik dilakukan pada minggu pertama gigitan yang berasal dari saliva, hapusan tenggork, trakea, kornea, sampel biopsi kulit/otak, cairan LCS dan kadang urin.



Di AS tes standar untuk rabies adalah rapid fluoroscent focus inhibitor test (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, yang bisa diperoleh dalam 48 jam.



Untuk pemeriksaan post-mortem, negri bodi sering ditemukan pada otak 71-90% pasien rabies.



Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction.




Diagnosis Banding
Rabies harus dipikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tidak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.



Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologis orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita rabies histerik biasanya menolak minum air sedangkan penderita rabies selalu merasa haus namun saat minum terjadi spasme farings sehingga menolak air.



Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten di antara spasme, status mental normal, LCS normal dan biasanya tidak hidrofobia.



Rabies tipe paralitik sering disalahartikan dengan Guillain Barre, transverse myelitis, Japanesse ensefalitis, HS ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan lab. berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.



Penanganan Rabies

Penderita rabies dapat diberikan obat-obatan sedatif dan analgesik secara adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, antivirus, interferon, kortikosteroid dan immunosupresif lainnya terbukti tidak efektif. Jackson menuliskan perlunya penanganan kasus rabies secara lebih agresif yaitu dengan pemberian vaksin antirabies, imunoglobulin (monoklonal). Antiviral yang dianjurkan adalah ribavirin, interferin alfa dan ketamin.


Pencegahan
Untuk mencegah infeksi pada pasien yang sudah terpapar virus rabies melalui kontak atau gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin antirabies dan imunoglobulin.


Penanganan Luka 

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debrimen dan diberikan disinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodium, atau larutan ephiran 0,1%. Luka gigitan binatang buas tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dilakukan jahit situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan untuk infeksi bakterial, maka pemberian antibiotik juga dapat dilakukan.


Vaksinasi.

 Vaksin rabies dapat dilakukan melalui 2 cara yakni:
Post exposure; Dasar vaksinasi ini adalah neutralizing antibody terhadap virus rabies dapat segara terbentuk dalam serum setelah masuknya virus ke dalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan masa inkubasi penyakit. Neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh karena imunisasi aktif.



Kombinasi antara vaksin dan serum antirabies adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dari vaksin saja.



Ada dua jenis vaksin rabies yakni yang berasal dari otak hewan dewasa, Nerve Tissue Vaccine (NTV) dan Non-Nerve Tissue Vaccine (NNTV) yang berasal dari embrio telur itik.



Serum antirabies ada dua jenis juga yakni Human Rabies Immune Globulin (HRIG) dan serum heterolog dari hewan.



Cara vaksinasi pasca-paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler (IM) pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (Rekomendasi WHO) atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (Rekomendasi Depkes).



Vaksin Pre-Exposure.
Untuk menghindari rabies, pencegahan dini juga dapat dilakukan dengan memberikan suntukan yang sama tetapi dengan waktu, cara, dan dosis yang berbeda melalui profilaksis pre-expossure.



Efek Samping Vaksinasi
Memberikan macam-macam gejala seperti bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada daerah suntikan. Komplikasi yang cukup berbahaya adalah ensefalomielitis dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini bisa terjadi pada penggunaan NTV yang berkaitan dengan mielin yang bersifat ensefaltogenik dan hipersensivitas jaringan saraf. Pada pemakaian NNTV jenis DEV (berbahan telur) dapat terjadi reaksi hipersensitif pada penderita yang alergi pada telur.



SAR (serum antirabies) juga dapat menyebabkan serum sickness yang dapat diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.


 | 

Followers